Senin, 16 April 2012


BANDUNG, (GE).- Dua syarat yang diajukan oleh Bupati Garut, H. Aceng HM Fikri, S.Ag, terhadap calon wakil bupati yang akan diajukan dalam pilwabup mendatang menuai kritik sejumlah kalangan. Di antaranya sebagaimana disampaikan pemerhati masalah sosial dan politik, Prof. Dr. H. Agus Salim Mansur, M.Pd. Menurutnya, dalam hal pencalonan wakil bupati, Aceng Fikri sebaiknya tidak menggunakan hawa nafsunya.
"Masalah itu (pemilihan wabup) kan sudah ada undang-undangnya. Jadi jangan ditambah-tambah dengan keinginan pribadi berdasarkan hawa nafsu yang tidak ada dasar hukumnya. Sebab kalau dipaksakan, hal itu akan membuat proses menjadi tidak sah. Karena tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku," kata Prof. Agus Salim kepada GE saat dihubungi melalui telepon selulernya, Jumat (13/4).
Dalam menjalankan mekanisme pemilihan, kata Prof. Agus Salim, harusnya Bupati berpegang pada dua aspek. Rule of the law, dan rule of the game. Artinya, Bupati tetap harus berpegang kepada UU nomor 49 tahun 2008 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagai rule of the law.
"Karena Aceng Fikri itu awalnya dari jalur perseorangan, maka dalam pengajuan calon wakil bupati dia harus berpegang kepada pasal 131 ayat 2d. Jangan ditambah lagi persyaratan yang aneh-aneh. Karena itu tidak tercantum pada ayat tersebut," jelas Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung kelahiran Garut itu.
Lebih jauh Prof. Agus menegaskan,  seharus Aceng Fikri konsisten dengan keindependensiannya. Sebab, langkah awal dia menjadi bupati adalah dari jalur perseorangan. "Yang menjadi salah satu pemicu Diki Candra mundur dari jabatan wabup, juga kan karena Aceng Fikri masuk partai. Jadi, dia jangan membuat kesalahan kedua dengan mensyaratkan calon wabup harus memiliki dukungan dari tiga partai politik. Karena ini sama saja dengan tidak independen," tegas Prof. Agus Salim.
Pernyataan senada, diungkapkan pemerhati politik alumnus Uniga, Rohmat Aripin, S.Ip, M.Si. Menurutnya, pengajuan syarat dukungan dari tiga partai politik bagi calon Wabup sangat bertentangan dengan pasal 131 ayat 2d UU Nomor 49 tahun 2008. Rohmat Aripin sependapat, kalau persyaratan (dukungan parpol) itu dipaksakan, prosedur pemilihan jadi tidak sah karena melanggar undang-undang.
"Sebenarnya syarat yang diajukan Bupati itu sah-sah saja. Namun, ada kelemahannya. Dengan adanya persyaratan tersebut, artinya sama dengan menjegal peluang calon wakil bupati dari jalur independen," tandas Rohmat Aripin saat berkunjung ke Kantor Redaksi GE, Sabtu (14/4). .
Rohmat Aripin bahkan mengegaskan, kalau Bupati mau netral dan menjunjung tinggi asas demokrasi, maka syarat atributif dukungan tiga partai politik itu harus dicabut. Terlebih, semua orang tahu bahwa keberangkatan Aceng Fikri dari jalur independen. Jadi mempunyai beban moral politik.
Sebetulnya, kata Rahmat Arifin, langkah yang diambil Aceng Fikri dengan masuk partai saja sudah merupakan sebuah penghianatan politik. Tetapi, Rohmat Aripin memahami, pada  sisi lain hal itu dilakukan Aceng Fikri sebagai upaya mencari kemaslahatan. Karena Bupati butuh dukungan dari parlemen, dan kekuatan politik itu adanya di parlemen.
"Bupati yang keberangkatan awalnya dari jalur independen, ternyata setelah masuk ke arena parlemen ibarat ayam kehilangan induk dalam mengamankan bebijakan pemerintah. Namun, hal itu sekaligus menandakan Bupati berjiwa bersar. Sebab, dengan masuk partai, Bupati tidak aman dari hujatan, apalagi dari tim suksesnya," jelasnya. (Sony MS)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar