Minggu, 08 Juli 2012

Menanti "Goodwill" Bupati, Pengkolan Makin Semrawut


KOTA, (GE).- Suasana kota Garut khususnya wilayah Pengkolan yang menjadi titik pusat kota, sungguh tidak enak dipandang mata. Tidak sedikit masyarakat mengeluh dengan kondisi Pengkolan saat ini yang begitu semerawut. Hampir seluruh badan jalan di Jl. Ahmad Yani, mulai batas Jalan Cikuray hingga batas Jalan Bratayuda, selain dipadati pedagang kaki lima juga disesaki parkir kendaraan bermotor yang tidak teratur. Akibatnya, laju kendaraan yang melintas di jalan tersebut kerap terhambat. Begitu juga para pejalan kaki. Mereka merasa tidak nyaman, karena trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki sudah sulit dilalui akibat menjamurnya pedagang kaki lima yang menyesaki trotoar.
“Jika tidak segera diatasi, kondisi kota Garut akan semakin parah. Lihat saja depan Alun-alun dan Masjid Agung sudah mulai ditempati pedagang kaki lima. Hampir semua jalan di pusat kota bertaburan pedagang, kecuali Jl. Bank depan Kodim Garut yang masih tampak bersih,” ujar Lia (40), salah seorang guru yang beralamat di Kelurahan Paminggir, Kecamatan Garut Kota.
Keprihatinan pun diungkapkan Maman (48), warga Ciledug. Menurutnya, pemerintah terkesan membiarkan kondisi tersebut. Sekalipun ada penertiban, semata-mata hanya untuk meraih sebuah adipura. Dan itu pun hanya dilakukan sementara. Padahal, kata Maman, kota Garut merupakan kota kecil yang tentunya bisa dibenahi, baik soal pedagang maupun perparkirannya. “Citra pusat kota Garut sudah mulai hilang, sebab saat ini sudah seperti kesemrawutan di pasar. Sebaiknya bupati segera turun tangan, kembalikan kota Garut seperti semula. Lihat bupati-bupati sebelumnya, mulai dari  Pak Taufik Hidayat, Pak Dede Satibi, hingga Pak Agus Supriadi, perhatian terhadap kondisi kota Garut tetap dilakukan. Bahkan, pada masa Bupati Agus Supriadi, sempat menempatkan khusus lokasi parkir di Jl. Mandalagiri,” jelasnya.
Sekjen Garut Education Watch, Sony MS, menilai, kesemrawutan Pengkolan secara tidak langsung bisa memberikan implikasi negatif terhadap dunia pendidikan. Sebab, setiap hari para siswa menyaksikan bagaimana pembiaran terhadap para pelanggar Perda K3 terus terjadi. Tanpa pemberian sanksi, atau bahkan teguran sekalipun terhadap para pelanggarnya.
Padahal, di sekolah, mereka selalu dijejali wejangan-wejangan dari para gurunya, agar senantiasa hidup tertib dan taat aturan di manapun berada. "Karena itu, ini menjadi sebuah ironi bagi para guru. Di satu pihak, guru mendidik para siswa agar hidup tertib dan selalu menaati aturan, tetapi ketika berada di tengah masyarakat mereka disuguhi kenyataan yang sebaliknya," kata Sony MS.
Menurut Sony, sebenarnya soal penataan kawasan Pengkolan tinggal ada goodwill dari Bupati. Sebab, ternyata para PKL yang selama ini selalu dituding sebagai biang kesemrawutan, justru sudah membuka diri untuk ditertibkan. Sekalipun Dinas Pertacip dan Dinas Perhubungan memiliki konsep yang hebat, tanpa adanya keinginan dari bupati untuk membenahi kondisi pusat kota, itu hanya akan menjadi rencana yang sia-sia.
Sementara Anggota Komisi A DPRD Garut, Ir. Asep Bin Achlan, mengakui apabila kondisi kota Garut saat ini cukup semerawut. Kata Asep, saat ini di komisinya pun akan mempersiapkan Peraturan Daerah penataan kota Garut, termasuk di dalamnya mengatur tentang pedagang kaki lima. “Saat ini kami sedang membahas perda tentang bangunan gedung. Sementara perda penataan kota pun sebenarnya akan dipersiapkan, hanya memang ada sedikit kendala,” ujar Asep, tanpa menyebutkan alasan kendala tersebut. (Tata E. Ansorie/Din Haerudin)***  


Pelantikan DPD Gema Sunda Kabupaten Garut, "Jangan Malu Menjadi Orang Sunda "


KOTA, (GE).- Tak bisa dipungkiri bahwasanya Kabupaten Garut khususnya, dan Jawa Barat pada umumnya sudah menjadi bagian dari perkembangan kemajuan zaman yang tidak terbantahkan dan tidak dapat dihindari. Adalah suatu kebanggaan tersendiri apabila daerah yang kita tinggali menjadi lebih maju. Namun dibalik kemajuan yang diraih, ada rasa khawatir karena budaya dan identitas budaya sunda baik disadari maupun tidak, mulai dilupakan dan ditinggalkan. Atas  dasar itulah DPD Gema Sunda Kabupaten Garut, berupaya membangun kebersamaan agar orang sunda di Kabupaten Garut dapat “Sareundeuk Saigel Sabobot Sapihanean”, melestarikan warisan budaya sunda.
“Kita malu menjadi orang sunda. Mari bersama-sama mengembalikan kembali budaya sunda yang nyaris terlupakan. Bahasa pengantar di rumah sudah tidak lagi menggunakan Basa Sunda tetapi cenderung menggunakan Bahasa Indonesia. Walaupun para orang tua dua-duanya Urang Sunda, pituin dan tinggal di lingkungan urang sunda. Mereka lebih bangga dan meureun akan merasa lebih terpelajar dan berkelas berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Inilah yang menjadi motifasi kita untuk membangun kembali kearifan lokal kita,” ujar Ketua DPD Gema Sunda Kabupaten Garut, pada pelantikan atau istrenan pengurus DPD Gema Sunda Kabupaten Garut di Gedung Lasminingrat, Minggu, (8/7).
Sementara tokoh budaya Garut, Cecep R. Rusdaya, menyampaikan rasa bangganya atas terbentuknya pengurus DPD Gema Sunda di Kabupaten Garut, apalagi para penggiat di Gema Sunda terdiri dari kalangan muda yang mensiratkan rasa kecintaan terhadap sunda masih besar. “Gerakan kasundaan mesti dibangun kembali. Ada yang jauh berarti dari kegiatan yang kerap kita saksikan yakni Mojang Jajaka, tetapi ada yang jauh sangat berarti selain itu yang jarang tersentuh. Kenapa tidak digelar lomba pidato bahasa sunda, sehingga dapat menyentuh langsung bagi generasi untuk melestarikannya,” jelasnya.
Adapun Ketua DPRD Garut, Ahmad Bajuri, SE, mengatakan bahwa sunda bukan sebuah suku, tetapi sebuah beradaban. Tidak sedikit nenek moyang sunda mewariskan berbagai tatanan kehidupan yang kini digunakan oleh pemerintahan, seperti otonomi daerah atau sistem perbankan yang dulu menggunakan istilah lumbung. “Rasa cinta akan tumbuh tatkala bicara sejarah, maka bicara budaya sunda, mesti memahami pula sejarahnya. Ketika sejarah dibicarakan, rasa kecintaan pun akan tumbuh pula. Mari mulai sekarang kita awali, tanpa perlu melihat kwantitas yang turut peduli di Gema Sunda ini. karena pilihannya, apakah kita akan menjadi pembaca sejarah atau pelaku sejarah. Moment ini dikemudian hari akan tercatat sebagai sejarah,” tuturnya. (Tata E. Ansorie)***