Minggu, 27 Mei 2012

Mengacalah dari Sebuah Sepakbola

KENAPA harus Diego Milito, bukan Andik Vermansyah. Kenapa pula harus Internisti, bukan Garuda di dadaku.  Yah, Stadion Gelora Bung Karno pada Sabtu (28/5) kemarin, berubah warna menjadi biru hitam. Tiga puluh dua ribu pasang mata di dalam stadion dan jutaan rakyat Indonesia menyaksikan dilayar kaca, seakan terhipnotis lupa segalanya, lupa merah putih, lupa keluarga, lupa akan kesulitan hidup, demi sebuah klub besar dunia yaitu Inter Milan.
Itulah sebuah olah raga yang namanya sepakbola. Tak ada satu negara pun yang tidak mengenal permainan si kulit bundar ini. sepakbola telah mengubah seorang anak jalanan menjadi super idola, mengubah sebuah tim kecil menjadi klub ternama dan sepakbola telah mengubah dari hobi menjadi industri.
Dalam sepakbola ternyata ada sebuah sistem aturan dan ketentuan yang harus ditaati oleh semua komponen yang ada di dalamnya, mulai pemain, wasit, pelatih dan tak terkecuali pula penonton. Komponen tersebut dibungkus dalam sebuah nama Fair Play.
Jika kata fair play dipinjam untuk sebuah pengelolaan pemerintahan yang katanya menjungjung tinggi demokrasi, tentunya akan sama-sama memiliki tanggungjawab yang harus dijaga dan dipatuhi. Dalam sepak bola memiliki peran masing-masing. Pemain harus disiplin di posisinya, tidak boleh ngacak tempat, tidak boleh kasar dan melukai lawan. Tugas wasit pun demikian, tidak boleh berat sebelah atau sengaja membantu kemenangan salahsatu tim. Sementara tugas pelatih mempersiapkan tim dan merancang strategi untuk meraih sebuah kemenangan yang bersih.
Sebuah permainan yang cantik, indah penuh sportifitas dan didukung wasit yang tegas, akan memuaskan penonton sekalipun timnya mengalami kekalahan. Pertandingan kerap berakhir ricuh, ketika fair play dikesampingkan. Ujung-ujungnya penonton marah, selain mencaci maki pemain, pelatih maupun wasit, terjadi pula tindakan pengrusakan terhadap fasilitas stadion. Tentu ini tidak mesti sepenuhnya menyalahkan penonton, apalagi lebih konyol lagi menyerang balik penonton sampai menghancurkan basecamp-nya.
Mesti disadari, penonton adalah bagian dari sebuah sistem. Sebuah tim dipersiapkan dan dirancang agar pertandingan dapat disaksikan sekaligus dinikmati oleh penonton. Sekalipun tindakan anarkis penonton tetap tidak dibenarkan, tentunya tidak akan terjadi apabila pertandingan tersebut menjunjung tinggi sportifitas dan fair play.
Demikian pula dalam sebuah pengelolaan pemerintahan. Segala bentuk rancangan program yang digulirkan, semata-mata untuk disajikan demi rakyat. Komponen eksekutif dan legislatif, tak ubahnya sebuah tim yang senantiasa ditunggu akselerasinya oleh rakyat. Mulailah bertindak fair play, karena rakyat dengan sendirinya akan mengaguminya dan mengelu-elukan, seperti halnya para ineternisti pencinta klub besar Inter Milan. Bahkan bisa pula dikagumi secara individual, layaknya Diego Milito atau Javier Zanneti yang telah merebut hati pencinta sepakbola di Indonesia.***

Tata E. Ansorie
Wapimred Garut Express


Sekda, H. Iman Alirahman, SH, MSi, Kedudukan Birokrasi Secara Politik Belum Jelas

GD. PENDOPO, (GE).- Ada hal yang menarik ketika dilaksanakan pencanangan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi pada Selasa (22/5) lalu, di Gedung Pendopo. Bahkan para nara sumber, seperti Asisten Deputi Pengawasan Masyarakat dan Pemberantasan Korupsi, Ir. Iskandar Hasan, M.Ec, Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Dominikus Dalu, Asisten Utama Penyelesaian Laporan Masyarakat, Ombudsman, dan Fungsional Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Harismoyo Retnoadi, begitu serius mendengarkan pertanyaan Sekda Garut, H. Iman Alirahman, SH, Msi, dalam konteks dialog interaktif dengan nara sumber.
Dalam penyampaiannya, Iman, menilai soal kedudukan birokrasi yang tidak ada kejelasan. Menurutnya, di satu sisi Undang-undang mengatakan bahwa birokrasi harus netral, tetapi netralitas yang diberikan oleh Undang-undang itu boleh dikatakan setengah-setengah. Disatu pihak harus netral, tapi disatu pihak diberikan hak pilih.
“Bagaimana bisa menempatkan netralitas, sementara dalam dalam politik diberikan hak pilih. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap monopoli. Saya ingin katakan bahwa birokrasi yang netral seperti itu menimbulkan ketanggungan di tubuh birokrasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, imbuh Iman, dirinya menyarankan pertimbangan dari Kementrian PAN, agar posisi birokrasi berada pada tempat yang benar-benar netral. Apalagi saat ini sedang dibahas Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara, apakah lebih baik disana dimuat biar birokrasi ini seperti TNI yang posisinya benar-benar netral. Pada akhirnya, setiap dilaksanakan pemilihan kepala daerah tidak perlu dilibatkan sebagai pemilih. Siapapun yang mau menjadi pemimpin di daerah itu, birokrasi tidak harus berhubungan, seperti jaman dulu ketika siapa yang harus menjadi bupati, birokrasi tidak mesti tahu. “Sekarang ini mohon maaf birokrasi, sehingga ini yang menyebabkan monopoli itu agak sulit untuk bisa dinetralisir, karena Undang-undangnya seperti itu. Barangkali yang paling mendasar ketika zona integritas menjadi sebuah komitmen pribadi birokrat, ini akan sangat dibantu apabila kedudukan birokrasi lepas dari berbagai kepentingan,” kata Iman.
Menanggapi pernyataan tersebut, pihak Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Dominikus Dalu, menyambut baik dan mendukung apa yang disampaikan Sekda Kabupaten Garut. Pihaknya sebenarnya sudah mengusulkan hal itu dalam pembahasan Undang-undang Aparatur Sipil Negara. “Monopoli memang tidak dapat dilepaskan, sepanjang tidak keluar dari aturan. Tetapi posisi birokrasi dalam netralitas, hal ini telah kami bahas pula agar dapat masuk dalam Undang-undang Aparatur Sipil Negara,” ujarnya. (Tata E. Ansorie)***