Sabtu, 05 Mei 2012

Ketua KPU Garut, Aja Rowikarim, M.Ag ; DPRD Harus Yakin Dua Calon Telah Memenuhi Syarat


KOTA, (GE).- Persoalan Pilwabup bisa dikatakan lumayan runyam. Diperparah berkembangnya tudingan jual beli kursi jabatan Wakil Bupati yang semakin mengemuka. Beberapa pihak menuding diawali dari ketidaksiapan DPRD Garut dalam membuat mekanisme pemilihan. Kendati demikian, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut, Aja Rowikarim, M.Ag, menilai terlepas adanya kekurangan atau kelebihannya, DPRD Garut sudah melakukan yang benar. Hanya saja, disaat akan melakukan penetapan, DPRD harus benar-benar meyakini bahwa dua nama calon yang sudah diajukan bupati telah memenuhi syarat. Secara rinci, Aja, menerangkan di dalam Tatib pemilihan wakil bupati itu, tidak ada aturan teknis yang tegas terhadap pelaksanaan pemilihan wakil bupati. Yakni, dar mulai bagaimana mekanisme teknisnya pengajuan dari bupati dan bagaimana bupati melakukan penjaringan. Yang ada hanya bupati mengajukan dua nama kepada  DPRD, lalu DPRD memilihnya dalam paripurna.
“Bagaimana caranya pemilihan dan bagaimana mengajukannya, apakah dalam bentuk nota dinas resmi, surat resmi atau secara lisan, aturannya tidak jelas. Tetapi, bupati mengajukan ke DPRD sudah benar dilakukan di rapat paripurna, terlepas caranya lisan atau nota dinas, yang penting disampaikan di paripurna,” ujarnya, saat ditemui disela-sela Rakorcab Partai Demokrat, Rabu (2/5) kemarin.
Lanjut Aja, untuk melakukan fungsi-fungsi DPRD dalam memilih ini. Karena tidak ada aturan yang jelas, maka DPRD membuat tatib. Adapun tatib itu sebagai interfretasi atau tapsir agar aturan teknis didapatkan, itu sudah benar terlepas ada kekurangan atau kelebihan. Secara subtansi  bahwa bupati sudah mengajukan dua nama dan DPRD tinggal memilihnya, tetapi itu pun harus memenuhi kriteria pasal 58 UU/12, yaitu ada peran-peran yg dilakukan DPRD dengan adanya panlih. “Sebelum  panlih menyerahkan ke DPRD untuk dipilih dalam paripurna, itu harus diyakini bahwa yang dipilih itu memenuhi syarat,” tuturnya.
Adapun, tambah Aja, bagaimana cara verifikasinya, itu pun tidak ada aturan di DPRD dalam melakukan ferivikasi. Artinya, merupakan suatu keniscayaan suatu tugas yang dilakukan oleh panlih untuk meyakini betul bahwa calon yang diajukan bupati itu memenuhi syarat. Karena dilihat di tatibnya, DPRD hanya melakukan pencocokkan dan penelitian terhadap berkas yang diajukan bupati. Cara DPRD untuk melakukan yang benar, maka DPRD melakukan koordinasi termasuk mengadopsi format-format yang dilakukan oleh KPU dalam pemilihan. “Kami juga  diajak untuk kontek-kontek tertentu. Terpenting ketika DPRD menggaide KPU untuk melaksanakan format sesuai aturan, kita berikan. Apakah itu dibenarkan Undang-undang, tidak ada aturan untuk membenarkan atau menyalahkan karena memang tidak ada aturan teknisnya. Jadi, saya melihat sekarang DPRD tinggal menetapkan, itu pun kalau sudah yakin,” ujarnya.

Secara Yuridis, Tim Medis Harus Bertanggunjawab

TERKAIT masalah General check Up yang dilakukan rumah sakit, Ketua KPU Garut, Aja Rowikarim, menerangkan, seharusnya ada komunikasi antara bupati, DPRD dengan lembaga terkait yg ditunjuk. Sebab harus diketahui, secara tegas bahwa syarat calon itu harus sehat jasmani dan rohani melalui cek kesehatan menyeluruh oleh tim dokter yg ditunjuk. Masalahnya siapa yg menunjuknya, sebab kalau di KPU, jelas ada  PP 49 pasal 38, itu sudah jelas yang menunjuk KPU. Karena pemilihan cawabup ini dianggap mekanismenya yang bertanggjawab DPRD dan bupati, maka penting ada keyakinan bahwa yang diperiksa itu bukan general check up biasa. “Yang disebut general check up biasa itu, seperti kita datang ke rumah sakit ingin memeriksakan diri, itu disebut general chek up biasa. Sementara, untuk cawabup ini disebut general check up khusus. Apakah mampu tidak mampu yang menentukan adalah rumah sakit. Maka konsekwensinya, kalau ada apa-apa terhadap kesehatan calon yang akan dipilih itu, tiba-tiba ada sesuatu, maka yang paling bertanggujawab adalah rumah sakit. Baik secara politis maupun secara yuridis,” kata Aja.
Dilanjutkannya, seharusnya rumah sakit menolak apabila tidak ditunjuk secara formal. Sekalipun ditunjuk pun, rumah sakit harus meminta kejelasan apa gaiden-gaiden tidak mampu itu. Jangan tiba-tiba karena ditunjuk oleh bupati mau melakukan. “Dia harus meminta gaiden dulu, misalkan psikologinya, tes kesehatannya. Mana yang dikatakan mampu tidak mampu itu. Setelah ada gaiden, baru membentuk tim dokter, kemudian tim dokter itu nanti akan dipantau oleh panitia pemilihan dan bupati. Artinya pihak rumah sakit seharusnya bertanya dulu untuk apa . Kalau pihak rumah sakit tahu untuk keperluan pencalonan wakil bupati, pihak rumah sakit harus tahu dulu Undang-undangnya. Karena ada kesehatan menyeluruh, maka pengertian menyeluruh itu apa,” jelas Aja.
Adapun mengenai hasil diagnosa, menurutnya, itu merupakan hak privasi. Artinya, tidak boleh diketahui orang lain sekalipun bupati maupun DPRD. Jangan dibawa keluar, cukup tim dokter menyampaikan rekomendasi mampu atau tidak mampu menjadi wakil bupati. “Pasti ini ketidaktahuan, sehingga hanya hasil pemeriksaan yang diberikan. Bisa jadi karena tidak ditunjuk secara khusus,” tuturnya. (Tata E. Ansorie)***


Wani Piro ?


TAYANGAN iklan  sebuah produk rokok yang dikemas lucu dengan gaya menyindir  terhadap tabiat penguasa, mensiratkan penomena pengisian jabatan Wakil Bupati Garut yang sedang berjalan ini. Ada kemiripan,  sekalipun jika benar transaksional jabatan wakil bupati terjadi, bukanlah barang lucu, selucu iklan rokok. “Korupsi, pungli, sogokan, hilang dari muka bumi ini,” demikian permintaan manusia, ketika jin akan mengabulkan satu tawarannya. Tapi si Jin malah mengucap “Berani Piro?” tak ubahnya tabiat manusia yang sedang merajai tahta kekuasaan.
Ekpresi rasa kesal dan kecewa si pelamar dalam iklan itu, melihat kode tangan si penerima lamaran yang meminta pulus, menggerutu “Dasar Perampok”, mungkin tak ubahnya para pelamar di cawabup yang terpaksa harus mengelus dada, karena ketidakmampuan memenuhi permintaan menyetorkan biaya sebesar Rp 1, 4 miliar. Persoalan Pilwabup Garut semakin meruncing, ketika Asep Kurniajaya, salah seorang pelamar cawabup menabuh gong karena merasa diperdayai oleh Bupati Aceng HM Fikri, pengakuannya selain sudah menyetor dalam bentuk dollar, ia pun dipinta kembali Rp 1,4 miliar agar masuk di salahsatu nama yang diusulkan ke DPRD. tentunya, Bupati pun tak menerima tudingan tersebut. Selain dirinya membantah, ia pun akan menempuh jalur hukum karena dianggap sebagai kampanye negatif yang dilakukan Asep Kurniajaya.
Ada yang menarik dari persoalan ini. Terlepas benar atau tidak, sepanjang investigasi pencarian data dan informasi adanya dugaan jual beli jabatan Wakil Bupati Garut. Banyak istilah-istilah komunikasi yang digunakan dalam meminta uang kepada pelamar cawabup. Seperti yang diutarakan Asep Kurniajaya. Dirinya mengaku menerima Short Message Service (SMS) dari bupati dengan menggunakan Kata “Kepala Suku”, merupakan istilah bagi pimpinan partai politik. Menurut salah seorang sumber yang juga sesama alumni satu pesantren dengan Bupati Aceng HM Fikri, bahkan pernah sama-sama menduduki pengurus salah satu partai politik di Kab. Garut, perubahan gaya politik Bupati Aceng HM Fikri, setelah dikelilingi orang-orang kepercayaannya. Istilah komunikasi dalam meminta sesuatu, kata dia, justru sering diucapkan oleh mereka, bukan oleh bupati. Contoh saja, “Aya Jagongna teu?, sabaraha karung? (ada jagungnya tidak?, berapa karung?), istilah itu digunakan apabila ada pengusaha yang ingin bertemu dengan bupati. “istilah jagung itu adalah uang, dan satu karung adalah seratus juta”, ujarnya.
Kemudian ada istilah “meter”. Istilah itu saat penerimaan calon Dirut PDAM Tirta Intan Garut, dimana ada calon yang ingin menghadap bupati, disebutkan mereka ada tarif satu meter atau seratus juta rupiah. Istilah-istilah yang digunakan lainnya, seperti “Jangan ngomong isu tapi isi”,”Mahar”, merupakan bagian komunikasi yang bukan rahasia di lingkungannya.
Dalam teori Tata Bahasa, perkembangan bahasa dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Istilah-istilah bahasa baru akan muncul dan memasyarakat sesuai kondisi jaman dan peristiwa. Tentunya, istilah kata yang didengar dalam proses diatas, sebaiknya terjadi hanya sebuah keniscayaan saja. Bahkan lebih baik istilah itu digunakan dan ditawarkan untuk sebuah iklan produk rokok, seperti halnya kata “Wani Piro”.
Kita berharap apa yang dibantahkan Bupati Aceng HM Fikri itu benar, tidak terjadi money politik dalam sistem pemerintahan Kabupaten Garut ini. Bahkan kita sangat berharap lagi, istilah di iklan rokok atau kata “Wani Piro”, tidak ditawarkan oleh DPRD Garut kepada dua nama calon Wakil Bupati.***

Tata E. Ansorie
Wapimred Garut Express  



Kamis, 03 Mei 2012

Preseden Buruk Bagi Ketatanegaraan, Bupati Salahgunakan Hak Atributif


KOTA, (GE).- Proses pengisian kekosongan jabatan Wakil Bupati Garut dipandang cacat hukum. Parahnya lagi diawali dari mekanisme pengusulan dua nama yang dilakukan oleh Bupati Aceng HM Fikri yang memiliki hak prerogatif dirinya. Seperti diutarakan Sekretaris Anda Centre, Heri Rustiana, S.Ip, mengatakan Bupati Aceng telah menyalahgunakan hak atributif. Pengertian hak atributif adalah fungsi yang melekat di bupati dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah untuk mengusulkan dua nama secara administratif, tetapi bupati malah telah menjalankan fungsi politiknya yang bukan kewenangannya.
“Bupati telah mengabaikan bahwa calon wakil bupati dari jalur perseorangan. Dia sendiri sebenarnya sudah sangat paham bahwa Wakil Bupati Garut Diky Candra, yang menjadi pasangan dirinya, semula dari perseorangan. Maka sepatutnya ia pun menyiapkan dua nama calon pengganti Diky Candra dari perseorangan pula. Mestinya ia meminta organ yang secara resmi telah menghantarkan dirinya dan Diky Candra, maju di Pilkada lalu,”  ujar Heri.
Kondisi tersebut, tambah Heri, lebih parahnya lagi kemudian dilegalkan DPRD dalam bentuk Peraturan DPRD Garut Nomor 6 Tahun 2012. Jelas, dalam peraturan tersebut menghilangkan ayat perseorangan. Buktinya, tidak satu pun ayat dalam peraturan DPRD yang menyebutkan calon dari perseorangan. Dasar DPRD Garut tentunya memanfaat ruang kosong hukum yang ada di Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. “Sayangnya Kongres Rakyat Independen yang dibentuk tiga organ yang mengusung Bupati Aceng HM Fikri dan Wabup Diky Candra, tidak memiliki hak menuntut secara perdata. Kecuali pihak-pihak yang kemarin telah dipinta oleh bupati melengkapi berkas administrasi, terkait pencalonan wakil bupati. Ya, mereka secara resmi telah diundang oleh Kesbangpol pemkab Garut, artinya mereka memiliki kewenangan untuk menuntut, sebab sudah terlibat dalam proses itu,” jelas Heri.
Tambahnya lagi, dirinya berharap Depdagri turun ke Garut untuk memverifikasi penyelenggaraan pemilihan. Karena jika ini dipaksakan, akan menjadi preseden buruk bagi ketatanegaraan tentang jalur perseorangan di kemudian hari. Heri pun meyakini, penghilangan pasal perseorangan dalam peraturan DPRD Nomor 6 Tahun 2012 merupakan perbuatan pidana, karena ada unsur kesengajaan. Untuk mengungkap itu tentunya penegak hukumlah yang melakukannya.
Selain itu, kata Heri, DPRD sengaja menghilangkan uji kelayakan public baik pra pemilihan maupun pasca pemilihan. Itu dilakukan tiga hari sebelum dan sesudah dipilih. “Saya berharap berbagai pihak untuk melepaskan kepentingannya dan lebih menggunakan akal sehat,” tuturnya. (Tata E. Ansorie)***

Minggu, 29 April 2012

Panlih Dituding Melanggar Tatib. Kedua Calon tidak Penuhi Persyaratan Administrasi?

KOTA, (GE).-  Penyampaian dua nama calon Wakil Bupati Garut oleh Bupati Garut, Aceng HM Fikri, pada rapat paripurna lalu, ternyata tidak dilengkapi persyaratan administrasi kedua calon secara lengkap. Hal ini menunjukkan Bupati telah mengabaikan kewajibannya untuk melakukan verifikasi, sesuai Tata tertib Pemilihan Wakil Bupati Garut sisa masa jabatan 2009-2014.
Seperti disampaikan Bendahara Kongres Rakyat Independen (KRI), Agus M. Sutarman, SE, bahwa Bupati mengabaikan kelengkapan administrasi calon. Buktinya, kata Agus, ketika mendampingi pengambilan berkas milik Hasanuddin yang menarik diri dari pencalonan di hari penyampaian dua nama, seluruh berkas para calon masih tersimpan di Bagian Pemerintahan Setda Garut. Bahkan, persyaratan kedua nama yang diusulkan Bupati pun tidak pernah diperiksa, hingga berkas diserahkan ke DPRD.
“Kelengkapan administrasi itu wajib sebagai persyaratan calon. Tugas Bupati melakukan verifikasi pun sudah ditentukan mutlak dalam aturan Tatib Panlih, sehingga ada anggaran hingga Rp 400 juta yang dialokasikan untuk  verifikasi tersebut,” ujar Agus.
Agus menambahkan, sebagai bukti Bupati tidak melakukan verifikasi, di berkas persyaratan administrasi kedua calon yang diusulkan, banyak sekali yang tidak dipenuhi. Lucunya lagi ada satu calon yang melampirkan persyaratan bekas mendaftarkan diri di BUMD. Kata Agus, berkas administrasi kedua calon yang diusulkan itu, ada enam peryaratan milik Agus Hamdani yang kurang dan delapan pesyaratan milik Usep Zaenal Aripin belum dipenuhi. “Anehnya, Panlih DPRD mengambil alih melakukan verifikasi faktual, padahal tugas Panlih hanya mencocokkan kebenaran berkas calon. Panlih pun hanya melayangkan surat ke Bupati, agar kekurangan berkas kedua calon dilengkapi,” tuturnya.
Lebih jauh Agus mengatakan, Panlih Cawabup pun telah melanggar Tatib (Peraturan DPRD Nomor 6 Tahun 2012) tenggang waktu perbaikan administrasi calon, tidak dilakukan sesuai Tatib pasal 8 yang mengisyaratkan tiga hari kerja batas untuk melengkapi persyaratan. Panlih Cawabup seenaknya menentukan waktu hingga melebihi batas. “Surat DPRD dilayangkan tanggal 23 April 2012. Semestinya sesuai aturan Tatib, tiga hari kerja itu sampai tanggal 26. Tetapi dilanggar sendiri oleh Panlih dengan memberi batas hingga tanggal 30 April 2012. Pilwabup ini seperti main-main, DPRD yang membuat aturan, malah mereka sendiri yang melanggar,” sesalnya.
Sementara, salah satu Anggota Panlih, Ir. Asep Achlan, membenarkan persyaratan administrasi kedua calon tidak lengkap. Panlih sendiri telah membuat surat pemberitahuan kepada Bupati, agar kedua calon melengkapi kekurangan persyaratan administrasinya. “Ya, Panlih sudah menyampaikan surat ke Bupati, bahwa kedua calon harus melengkapi persyaratan administrasi yang kurang,” ujarnya.
Ketika dimintai komentar mengenai batas waktu perbaikan persyaratan administrasi yang tidak sesuai aturan, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut, Dadang Sudrajat, S.Pd, mengatakan, hal itu sudah menunjukkan cacat hukum. Semestinya semua yang terlibat dalam Pilwabup tunduk kepada Tata Tertib yang telah dibuat. “Setiap pelaksanaan yang tidak sesuai aturan adalah cacat hukum. Maka itu adalah pelanggaran. Tentunya bagi setiap pelanggar ada sanksinya. Apalagi pelanggar itu dilakukan oleh sipembuat produk itu sendiri,” tuturnya.
Pada kesempatan terpisah, salah seorang calon Wakil Bupati Garut, Agus Hamdani, menyatakan bahwa dirinya telah melengkapi seluruh persyaratan yang dibutuhkan dalam pencalonan. "Alhamdulillah, semua persyaratan yang diminta suda saya penuhi, dan tidak ada masalah," kata Agus Hamdani kepada GE, ketika dikonfirmasi melalui telepon selulernya, Minggu (29/4).
Karena itu, ia yakin namanya akan ditetapkan pada sidang paripurna penetapan dua nama calon Wakil Bupati Garut oleh Panlih DPRD. Bahkan, Agus bersama tim dari fraksinya semakin intens melakukan lobi-lobi antarfraksi agar dapat memenagkan pertarungan dalam pilwabup nanti.
Begitu juga Usep Zaenal Aripin. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah memenuhi semua persyaratan yang diminta dalam proses penjaringan cawabup. "Semua persyaratan sudah saya serahkan. Agar yakin, silakan saja cek ke Panlih," ungkap Usep Zaenal Aripin kepada GE, Sabtu (28/4).
(Tata E. Ansorie/SMS/AKW)***

Keterangan Kesehatan Dua Calon tidak Jelas

LAGI-LAGI permasalahan dalam verifikasi. Hasil general chek up rumah sakit bagi kedua calon yang diusulkan Bupati ternyata tidak jelas. Tim pemeriksa kedua calon, termasuk calon-calon lain yang tidak diusulkan Bupati, tidak ada keterangan yang menyatakan layak atau tidaknya untuk diusulkan menjadi calon wakil bupati. “Kami tidak membutuhkan catatan atau penyakit yang ada di kedua calon. Namun butuh keterangan dokter, apakah layak atau tidak dalam persyaratan menjadi wakil bupati,” ujar Anggota Panlih, Asep Achlan.
Diketahui, hasil general chek up, pihak rumah sakit hanya menyertakan temuan hasil diagnosa calon saja, tanpa ada keterangan layak atau tidak. Dalam diagnosa pihak rumah sakit, ditemukan salah satu calon yang menderita komplikasi penyakit berat. “Ini menggambar bahwa tidak ada persiapan matang dalam Pilwabup. Tugas Bupati untuk verifikasi tidak bekerja, mestinya menunjuk tim dokter dengan surat resmi. Apa maksudnya di Kesbang dikumpulkan, sementara para calon inisiatif sendiri datang ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Pihak rumah sakit tidak salah, mereka hanya menjalankan pemeriksaan saja dan menyampaikan diagnosanya. Berbeda kalau ditunjuk secara resmi dan dipinta hasil pemeriksaan dan dituangkan kelayakan para calon. Saya yakin, dokter tidak akan memberi surat keterangan layak atau tidak untuk persyaratan cawabup, karena tidak ada surat penunjukan secara resmi terhadapnya,” ujar Agus M Sutarman, SE. (Tata E. Ansorie)***

Ada Pelamar Cawabup Mengaku Diminta Menyetor Uang Rp 1,4 Miliar. Bupati : "Sampai Dicabut Nyawa pun Saya Berani Bersumpah!"

DPRD, (GE).- Suasana arena pencalonan Wakil Bupati Garut mulai memanas. Sejumlah mantan pelamar bakal calon (balon) wabup bahkan meminta agar DPRD Garut membatalkan proses pencalonan. Mereka menilai, prosedur pencalonan telah menyimpang dari konteks peraturan yang berlaku. Bahkan, aroma permainan kotor politik uang makin menyeruak ke ruang publik. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan salah seorang mantan pelamar cawabup, Asep Kurnia Jaya.
Memang, Asep mengakui ada hak prosedur yang dimiliki Bupati dan DPRD. Namun, katanya, itu bukan berarti Bupati atau juga DPRD bisa seenaknya menentukan dua nama calon wabup yang dapat ditetapkan dalam pemilihan. "Kalau diketahui ada yang tidak beres dalam proses penjaringan, seharusnya ini jadi bahan pertimbangan bagi DPRD," tandas Asep Kurnia Jaya kepada GE saat dihubungi melalui telepon selulernya, Sabtu (28/4).
Karena itu, Asep meminta DPRD membatalkan proses penjaringan cawabup. "Saya tidak meminta kedua nama cawabup yang diajukan dibatalkan. Yang kami minta prosesnya dibatalkan. Karena sudah menyalahi peraturan perundang-undangan," kata Asep.
Hanya saja, Asep tidak menyebutkan secara gamblang peraturan mana yang dilanggar oleh Bupati dan DPRD dalam proses pengajuan dua nama kemarin. Namun, Asep mengungkapkan salah satu contoh persyaratan yang ia nilai keluar dari prosedur penjaringan. Untuk membuktikan dirinya tidak sedang dalam keadaan pailit, ia diminta menyetorkan uang sebesar Rp 1,4 miliar kepada Bupati. "Alasannya sih itu untuk Bupati dan para pimpinan dewan," jelas Asep Kurnia.
Namun, Asep tidak mau mengabulkan permintaan tersebut. Karenanya, ia tidak memenuhi panggilan Bupati pada malam sebelum penetapan dua nama calon wabup. "Soalnya bukan untuk diuji kesiapan menjadi wakil bupati, tetapi saya malah dimintai uang. Saya dengar, calon lainnya juga sama dimintai uang. Makanya ada yang mengundurkan diri. Tadinya saya sendiri berpikir positif terhadap Aceng Fikri, tetapi setelah tahu begitu saya menjadi tahu siapa dia sebenarnya," imbuh Asep Kurnia.
Protes serupa diungkapkan mantan calon pelamar wabup lainnya, Asep Tapip Yani. Ia menilai proses penentuan dua nama cawabup yang diajukan Bupati tidak transparan. "Yang dimaksud tidak transparan, karena selama ini kita tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi tiba-tiba muncul dua nama yang diajukan Bupati ke DPRD," kata Asep kepada GE, Sabtu (28/4).
Namun demikian, lanjut Asep Tapip, hasilnya sangat transparan. "Kedua nama calon yang diajukan Bupati sangat transparan. Karena jelas-jelas menunjukkan bahwa Aceng Fikri memang sudah meninggalkan sejarah keindependensiannya," kata Asep Tapip.
Seharusnya, Aceng Fikri sebagai Bupati bisa memperlihatkan etika kepemimpinan sejati. Sebelum menetapkan dua nama calon yang diajukan ke DPRD, tidak ada salahnya seluruh pendaftar cawabup diajak berkomunikasi. Jelaskan alasan kenapa si A diajukan dan si B tidak diajukan. Dengan adanya penjelasan seperti itu, tentu para bakal calon bisa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
Memang, Asep menyadari, mengenai pencalonan wabup merupakan hak prerogatif Bupati. Tetapi, itu bukan berarti Bupati bisa seenaknya sendiri. Hak tersebut tetap harus digunakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Hak prerogatif itu kan bukan berarti kumaha aing! Kalau seperti ini. Bupati tidak mau berkomunikasi dengan anak buahnya, ia tidak layak dianggap sebagai pimpinan lagi," tandas Asep Tapip.
Asep sendiri sengaja menggulirkan pernyataan tersebut sebagai masukan bagi Bupati. Menurutnya, harus ada penyadaran agar Bupati tidak terus terjerumus dalam permainannya sendiri.
"Alih-alih bisa menyelesaikan persoalan, kalau begini caranya malah justru akan menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. Dalam hal seperti ini (pemilihan-red), meski prosesnya dijalankan secara jujur dan transparan saja, pasti ada yang mempertanyakan. Apalagi kalau ada masalah seperti sekarang, adalah hal sangat wajar kalau akhirnya semakin banyak yang mempertanyakan," katanya.
Karena itu, Asep Tapip mengajak kepada seluruh pelamar cawabup untuk bersama-sama mengawasi dan mengkritisi proses penjaringan dan pemilihan wabup yang masih berlangsung. Ajakan tersebut diamini mantan pelamar cawabup lainnya, Yusuf Supriadi. Ia juga mengajak pelamar cawabup lainnya untuk ikut serta mengontrol proses pemilihan Wabup Garut sisa periode 2009-2014.
Bahkan, Yusuf mengingatkan agar DPRD berhati-hati karena mencium isu tidak sedap mengenai politik uang. "Jangan sampai DPRD ikut terlibat dalam praktik jual beli jabatan. DPRD harus jeli dalam memilih. Seyogyanya yang dinilai adalah kemampuan kinerja, bukan kekuatan finansial para calon  menjadi tolak ukur," kata Yusuf kepada GE.
Bahkan, Yusuf menegaskan, jika Bupati terbukti melakukan jual beli jabatan, mereka akan melakukan penekanan kepada Bupati untuk mundur dari jabatannya. "Kami juga akan menekan KPK untuk segera turun ke Kabupaten Garut atas pelaporan yang telah masuk dari masyarakat Garut," tandas Yusuf.
Ketika akan dimintai tanggapannya, Bupati Garut, Aceng HM Fikri, dengan tegas membantah semua tudingan miring yang dialamatkan kepadanya. "Saya dari mulai ketemu Asep Kurnia Jaya itu tidak pernah mengajukan permintaan uang. Sampai dicabut nyawa pun saya berani bersumpah! Kalau timnya yang meminta mengatasnamakan saya, itu saya tidak tahu," kata Aceng Fikri kepada GE melalui telepon selulernya, Minggu (29/4).
Kalau memang ada permainan kotor seperti yang dituduhkan Asep Kurnia Jaya dan yang lainnya, kata Aceng Fikri, silakan dibuktikan. Ia sendiri tidak membantah kalau dirinya memang ada kepentingan terhadap Asep Kurnia. Namun itu sebatas untuk membuka akses ke Menko Perekonomian, Hatta Rajasa. Soalnya, Asep Kurnia memang dikenal dekat dengan Menko Perekonomian.
"Saya memang pernah dipertemukan dua kali dengan Pak Hatta (Hatta Rajasa). Kami bicara bagaimana untuk memajukan pembangunan di Kabupaten Garut ke depan," imbuh Aceng Fikri.
Sebenarnya, kata Aceng, dirinya sudah memberikan kemurahan hati kepada Asep Kurnia Jaya. Bahkan ia rela menunggu Asep Kurnia hingga pukul 02.00 dini hari pada malam sebelum penetapan dua nama calon. "Saya tunggu sampai jam 02.00 pagi, ternyata dia tidak datang. Jadi saya sudah kurang baik bagaimana? Padahal kalau waktu itu dia mau menyatakan keseriusannya untuk mencalonkan wabup meski by phone saja, pasti saya respon. Jadi, sumpah demi Allah saya tidak pernah berbicara uang," tandas Aceng.
Aceng juga mengaku sudah mengetahui kalau isu miring ini sudah menyebar ke mana-mana. Bahkan, katanya, semula Hatta Rajasa pun sempat memberikan penilaian negatif kepada dirinya karena menerima informasi secara sepihak. "Karena itu, akhirnya Pak Hatta juga menyampaikan permintaan maaf melalui Pak H. Babay, kalau semala ini ia informasinya secara sepihak," papar Aceng Fikri.
Berkaitan dengan sidang paripurna penetapan dua nama cawabup, Aceng Fikri berharap dapat berjalan lancar sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh Panlih di DPRD. "Mudah-mudahan saja semuanya dapat berjalan lancar sebagaimana harapan kita bersama. Agar Pemkab Garut secepatnya memiliki wakil bupati definitif yang akan membantu tugas saya dalam melayani masyarakat," ungkap Aceng Fikri.
Sementara itu, ketika dimintai komentarnya, Ketua DPRD Garut, Ahmad Bajuri, SE, hanya mengatakan apakah pernyataan yang diungkapkan Asep Kurnia Jaya itu rasional atau tidak. Karena itu, Bajuri juga menjanjikan pilwabup akan dilaksanakan secara transparan sesuai aturan yang ada. “Seperti yang saya utarakan, dua nama yang diajukan Bupati itu masih tentatif. Artinya, ada evaluasi yang mesti dilakukan untuk melihat persyaratan calon yang diajukan. Apakah secara administratif sudah benar atau tidak. Artinya, bila sudah ditetapkan sebagai calon, persoalannya akan menjadi lain jika memang ada permasalahan,” ujar Bajuri kepada GE, Minggu (29/4).
Ditambahkan Bajuri, sebelum kedua nama calon ditetapkan dalam paripurna, pihaknya sangat terbuka kepada publik untuk memberi masukan atau temuan yang berkaitan dengan pelaksanaan pilwabup ini. (Sony MS/Tata/Akw)***