Sabtu, 05 Mei 2012

Wani Piro ?


TAYANGAN iklan  sebuah produk rokok yang dikemas lucu dengan gaya menyindir  terhadap tabiat penguasa, mensiratkan penomena pengisian jabatan Wakil Bupati Garut yang sedang berjalan ini. Ada kemiripan,  sekalipun jika benar transaksional jabatan wakil bupati terjadi, bukanlah barang lucu, selucu iklan rokok. “Korupsi, pungli, sogokan, hilang dari muka bumi ini,” demikian permintaan manusia, ketika jin akan mengabulkan satu tawarannya. Tapi si Jin malah mengucap “Berani Piro?” tak ubahnya tabiat manusia yang sedang merajai tahta kekuasaan.
Ekpresi rasa kesal dan kecewa si pelamar dalam iklan itu, melihat kode tangan si penerima lamaran yang meminta pulus, menggerutu “Dasar Perampok”, mungkin tak ubahnya para pelamar di cawabup yang terpaksa harus mengelus dada, karena ketidakmampuan memenuhi permintaan menyetorkan biaya sebesar Rp 1, 4 miliar. Persoalan Pilwabup Garut semakin meruncing, ketika Asep Kurniajaya, salah seorang pelamar cawabup menabuh gong karena merasa diperdayai oleh Bupati Aceng HM Fikri, pengakuannya selain sudah menyetor dalam bentuk dollar, ia pun dipinta kembali Rp 1,4 miliar agar masuk di salahsatu nama yang diusulkan ke DPRD. tentunya, Bupati pun tak menerima tudingan tersebut. Selain dirinya membantah, ia pun akan menempuh jalur hukum karena dianggap sebagai kampanye negatif yang dilakukan Asep Kurniajaya.
Ada yang menarik dari persoalan ini. Terlepas benar atau tidak, sepanjang investigasi pencarian data dan informasi adanya dugaan jual beli jabatan Wakil Bupati Garut. Banyak istilah-istilah komunikasi yang digunakan dalam meminta uang kepada pelamar cawabup. Seperti yang diutarakan Asep Kurniajaya. Dirinya mengaku menerima Short Message Service (SMS) dari bupati dengan menggunakan Kata “Kepala Suku”, merupakan istilah bagi pimpinan partai politik. Menurut salah seorang sumber yang juga sesama alumni satu pesantren dengan Bupati Aceng HM Fikri, bahkan pernah sama-sama menduduki pengurus salah satu partai politik di Kab. Garut, perubahan gaya politik Bupati Aceng HM Fikri, setelah dikelilingi orang-orang kepercayaannya. Istilah komunikasi dalam meminta sesuatu, kata dia, justru sering diucapkan oleh mereka, bukan oleh bupati. Contoh saja, “Aya Jagongna teu?, sabaraha karung? (ada jagungnya tidak?, berapa karung?), istilah itu digunakan apabila ada pengusaha yang ingin bertemu dengan bupati. “istilah jagung itu adalah uang, dan satu karung adalah seratus juta”, ujarnya.
Kemudian ada istilah “meter”. Istilah itu saat penerimaan calon Dirut PDAM Tirta Intan Garut, dimana ada calon yang ingin menghadap bupati, disebutkan mereka ada tarif satu meter atau seratus juta rupiah. Istilah-istilah yang digunakan lainnya, seperti “Jangan ngomong isu tapi isi”,”Mahar”, merupakan bagian komunikasi yang bukan rahasia di lingkungannya.
Dalam teori Tata Bahasa, perkembangan bahasa dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Istilah-istilah bahasa baru akan muncul dan memasyarakat sesuai kondisi jaman dan peristiwa. Tentunya, istilah kata yang didengar dalam proses diatas, sebaiknya terjadi hanya sebuah keniscayaan saja. Bahkan lebih baik istilah itu digunakan dan ditawarkan untuk sebuah iklan produk rokok, seperti halnya kata “Wani Piro”.
Kita berharap apa yang dibantahkan Bupati Aceng HM Fikri itu benar, tidak terjadi money politik dalam sistem pemerintahan Kabupaten Garut ini. Bahkan kita sangat berharap lagi, istilah di iklan rokok atau kata “Wani Piro”, tidak ditawarkan oleh DPRD Garut kepada dua nama calon Wakil Bupati.***

Tata E. Ansorie
Wapimred Garut Express  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar