Kamis, 03 Mei 2012

Preseden Buruk Bagi Ketatanegaraan, Bupati Salahgunakan Hak Atributif


KOTA, (GE).- Proses pengisian kekosongan jabatan Wakil Bupati Garut dipandang cacat hukum. Parahnya lagi diawali dari mekanisme pengusulan dua nama yang dilakukan oleh Bupati Aceng HM Fikri yang memiliki hak prerogatif dirinya. Seperti diutarakan Sekretaris Anda Centre, Heri Rustiana, S.Ip, mengatakan Bupati Aceng telah menyalahgunakan hak atributif. Pengertian hak atributif adalah fungsi yang melekat di bupati dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah untuk mengusulkan dua nama secara administratif, tetapi bupati malah telah menjalankan fungsi politiknya yang bukan kewenangannya.
“Bupati telah mengabaikan bahwa calon wakil bupati dari jalur perseorangan. Dia sendiri sebenarnya sudah sangat paham bahwa Wakil Bupati Garut Diky Candra, yang menjadi pasangan dirinya, semula dari perseorangan. Maka sepatutnya ia pun menyiapkan dua nama calon pengganti Diky Candra dari perseorangan pula. Mestinya ia meminta organ yang secara resmi telah menghantarkan dirinya dan Diky Candra, maju di Pilkada lalu,”  ujar Heri.
Kondisi tersebut, tambah Heri, lebih parahnya lagi kemudian dilegalkan DPRD dalam bentuk Peraturan DPRD Garut Nomor 6 Tahun 2012. Jelas, dalam peraturan tersebut menghilangkan ayat perseorangan. Buktinya, tidak satu pun ayat dalam peraturan DPRD yang menyebutkan calon dari perseorangan. Dasar DPRD Garut tentunya memanfaat ruang kosong hukum yang ada di Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. “Sayangnya Kongres Rakyat Independen yang dibentuk tiga organ yang mengusung Bupati Aceng HM Fikri dan Wabup Diky Candra, tidak memiliki hak menuntut secara perdata. Kecuali pihak-pihak yang kemarin telah dipinta oleh bupati melengkapi berkas administrasi, terkait pencalonan wakil bupati. Ya, mereka secara resmi telah diundang oleh Kesbangpol pemkab Garut, artinya mereka memiliki kewenangan untuk menuntut, sebab sudah terlibat dalam proses itu,” jelas Heri.
Tambahnya lagi, dirinya berharap Depdagri turun ke Garut untuk memverifikasi penyelenggaraan pemilihan. Karena jika ini dipaksakan, akan menjadi preseden buruk bagi ketatanegaraan tentang jalur perseorangan di kemudian hari. Heri pun meyakini, penghilangan pasal perseorangan dalam peraturan DPRD Nomor 6 Tahun 2012 merupakan perbuatan pidana, karena ada unsur kesengajaan. Untuk mengungkap itu tentunya penegak hukumlah yang melakukannya.
Selain itu, kata Heri, DPRD sengaja menghilangkan uji kelayakan public baik pra pemilihan maupun pasca pemilihan. Itu dilakukan tiga hari sebelum dan sesudah dipilih. “Saya berharap berbagai pihak untuk melepaskan kepentingannya dan lebih menggunakan akal sehat,” tuturnya. (Tata E. Ansorie)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar